Revenge porn merupakan bentuk balas dendam
yang dilakukan pelaku terhadap korbannya dengan ancaman menyebarkan foto atau
rekaman eksplisit korban. Dalam banyak kasus, revenge porn dilakukan agar pelaku dapat memeras korban dalam bentuk
finansial, di kasus lain pelaku revenge
porn adalah orang terdekat korban misalnya, pelaku merupakan kekasih korban
yang mengancam untuk melakukan apa yang diinginkan pelaku. Misalnya, apabila
korban memutuskan untuk meninggalkan pelaku, maka ancamannya adalah tersebarnya
dokumen-dokumen privasi tersebut. Hal ini menyebabkan korban terpaksa terkekang
di hubungan yang sangat tidak sehat.
Beberapa individu
memiliki motif ekonomi, sedangkan yang lain termotivasi oleh ketenaran atau
hiburan (Franks, 2015). Inilah yang kemudian mengubah revenge porn menjadi
peluang bisnis. Di tahun 2008, sebuah situs web yang didedikasikan bagi revenge
pornography muncul. Kini, revenge pornography terdapat dalam 3.000 situs web
dan jumlahnya semakin sulit untuk dilacak (Kamal and Newman, 2016).
Revenge porn termasuk dalam kekerasan
seksual berbasis siber atau cyber
harassment karena kejahatan ini dilakukan di dunia maya dan memiliki dampak
di kehidupan nyata korban, revenge porn
menyebabkan kerugian seperti kecemasan, tekanan atau masalah psikologis yang
serius. Hal yang dilakukan oleh pelaku juga termasuk menghina, mengancam atau
kebencian lewat pesan dan posting informasi secara daring.
Dikutip dari Jurnal : A
Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female
Survivors oleh Samantha Bates, “Wawancara kualitatif mendalam dilakukan antara
Februari 2014 dan Januari 2015 dengan 18 perempuan yang selamat dari kejahatan revenge porn, dan analisis induktif
mengungkapkan pengalaman peserta tentang masalah kepercayaan, gangguan stres
pasca trauma (PTSD), kecemasan, depresi, pikiran untuk bunuh diri, dan beberapa
masalah kesehatan mental lainnya.”
Stigma yang buruk dari
masyarakat luas semakin memperburuk dampak kejahatan ini bagi korban, seperti victim blaming atau menyalahkan korban
dengan menganggap hal tersebut merupakan kesalahan dari tindakan korban itu
sendiri, Dimana victim blaming adalah
hasil dari konstruksi sosial masyarakat yang masih terjebak dalam pemikiran
patriarkal. Padahal kejahatan revenge
porn ini adalah kesalahan dari pelaku. Menurut Cyber Civil Rights
Initiative, kebanyakan korban revenge porn adalah perempuan. Mereka dipaksa
untuk berfoto atau membuat video. Dalam kasus lain, perempuan tidak mengetahui
bahwa mereka direkam dengan kamera tersembunyi. Artinya, baik perolehan dokumen
maupun penyebarannya sama sekali tidak mendapat persetujuan dari korban.
Banyak konsekuensi negatif
dari revenge porn yang berlangsung
dalam jangka panjang. Hal ini membuat para korban menderita dampak kesehatan
mental yang sama dan abadi. Seperti depresi, penarikan diri, rendah diri, dan
perasaan tidak berharga.
Oleh karena itu,
diperlukan payung hukum dan undang-undang yang jelas untuk melindungi hak-hak
korban dan mencegah hal ini terjadi. Masyarakat juga harusnya mengambil peran
untuk tidak menambah luka batin korban, sebaiknya masyarakat dan orang terdekat
korban membantu korban untuk memutuskan penyebaran dokumen tersebut dan
memberikan dukungan emosional untuk membantu korban dalam menghadapi traumanya.
Juga memberikan korban bantuan psikologis dari profesional apabila diperlukan.
0 Komentar